Lantai Empat



***
“Eh, apa kau percaya kalau gedung ini berhantu?” tanyaku saat tiba dengan tiga orang maniak film lainnya.
“Diandra! Jangan mengatakan hal tabu seperti itu di tempat seperti ini!” tukas Oca.
“Hahaha, berarti kau mengakuinya, Ca!” seruku setengah berlari menuju lift.
“Hei, jangan lari kamu!” sahutnya setengah kesal.
“Kalau tidak lari, filmnya keburu mulai lho...” sergahku cepat.
“Ah, sial.” rutuk Melli sambil melihat jam tangannya.
Akhirnya mereka bertiga mengejarku yang sudah berada di dalam lift.
Kami berempat adalah maniak film. Jika ada film bagus, kami selalu hunting dan pergi menonton di bioskop kesayangan kami, Twenty One. Biasanya aku dan Oca yang pergi membeli tiket. Melli yang hunting film-film bagus dan Ana yang hunting waktu, kapan kita bisa nonton bersama.
Kali ini kami berempat memutuskan untuk menonton “Sorority Row”. Aku dan Oca sudah bersusah payah mengantri dari jam 11 siang tadi, namun tetap saja kami mendapatkan kloter terakhir, yaitu jam 21.45. Mau tak mau kami akan pulang malam, mungkin sekitar hampir tengah malam. Sebenarnya agak menyeramkan sih, pulang jam segitu. Karena ini adalah malam jumat, dan aku tidak menyukai mall tempat Twenty One berada karena masih dalam pembangunan.
Jam 23.15
==
“Wuah, mantep ya…” sahutku mengacungkan 2 jempol saat keluar dari teater 1.
“Iya. Ternyata yang bunuh pacarnya sendiri,” timpal Ana.
“Pokoknya intinya film ini, persahabatan lebih penting dari segalanya,” sahut Oca memainkan tangannya di saku jaket.
“Hei, guys. Lift penuh nih. Mau nunggu apa lewat tangga?” tanya Melli dengan wajah lelah plus ngantuk.
“Capek kalau lewat tangga. Tunggu lift kosong aja,” sahut Ana malas.
“Aku sih terserah. Mungkin agak lama, tapi sebaiknya memang nunggu lift aja,” sahutku bersandar pada pintu salah satu lift yang rusak sembari mengeluarkan HP.
Kuhempaskan pandanganku ke sekeliling, lalu kulihat ketiga sahabatku yang sedang berdiskusi, dan kemudian tatapanku menuju hp kesayanganku, memainkan fiturnya sambil menunggu. Menunggu lift kosong.
23.45
==
Kurasakan gedung mulai sepi. Lampu Twenty One sudah mati. Parkiran sudah lengang, sementara tanganku tak berhenti menekan tombol lift agar cepat berada di lantai 6 tempat kami berada sekarang. Ketiga temanku merubungi belakangku, membuat sedikit perasaan paranoidku hilang.
“Hei, masih lama ya?” tanya Oca tepat di telingaku.
Aku terperanjat. HP yang kupegang hampir jatuh dari pegangan.
“Sepertinya begitu. Kenapa?”
“Jujur aja, aku mulai merinding,” sahut Oca mengelus lengannya.
Ya, aku tidak menyalahkan Oca jika ia merasa tidak nyaman seperti ini. Karena aku tahu, mall ini dulunya adalah pasar yang sengaja dibakar. Konon katanya, ada seorang pria yang ikut menjadi korban saat pembakaran pasar tersebut. Entahlah, aku juga tidak yakin ,namun kutahu pasti disini ada sesuatu.
-
Sebuah suara terdengar dan pintu lift terbuka di hadapan kami, tanpa di komando lagi, kami berempat memasuki lift yang kosong itu.
Aku melihat Ana langsung menekan angka 1. Sementara mataku tak bisa berhenti melihat tombol-tombol penunjuk angka yang lain. Lantai 9, 8, 7, 6, 5, 3A, 3, 2, 1, SB.
Hei…
Kenapa lantai 4 diganti menjadi 3A?! Apa terlalu tabu untuk menuliskan nomor 4 yang dipercaya sebagai angka sial. Aku tidak mengerti pemikiran developer mall yang bahkan belum terbentuk sempurna ini. Entah kenapa, muncul di fikiranku untuk mengusili temanku yang paling takut dengan hal-hal mistik, Oca.
“Apa kalian tahu, kenapa tidak ada lantai 4 tertulis di tombol penunjuk lantai?” tanyaku setengah berbisik.
“Memang kenapa?” Melli malah balik tanya.
Aku memutar bola mataku di dalam lift yang bergerak sangat lambat tersebut. Kami masuk ke lift ini saat berada di lantai 6, dan sepertinya lift ini deprogram untuk naik dulu ke lantai 9 lalu ke lantai-lantai di bawahnya.
“Karena bagi sebagian orang, 4 adalah angka sial. 4 dalam bahasa jepang dibaca shin, yang bisa berarti kematian. Karena bahasa jepang kematian kan shinu. Tapi apa kalian tahu, kalau kita percaya lantai 4 itu ada, ia akan menunjukkan dirinya padamu,” sahutku sedikit asal.
Display lantai menunjukkan kami berada di lantai 5 sekarang. Oca menggenggam tanganku lebih erat. Membuatku tambah ingin menjahilinya. Ana bersandar di dinding lift, sementara Melli sibuk memijat keningnya agar tidak jatuh tertidur.
“Lihat, sebentar lagi kita ada di lantai 4.”
“Tidak ada lantai 4!” tukas Oca keras.
“Lantai 3A kan lantai 4, meskipun ditulis 3A, tetap saja ia lantai ke empat jika basement tidak dihitung.”
Tepat aku selesai berkata begitu, lampu lift mati. Kami berempat terkejut, namun kami berusaha tenang karena lift masih jalan. Mungkin lampunya yang butuh diganti. Kugenggam handphone-ku erat-erat. Sementara Ana dan Melli menggunakan lampu hp mereka sebagai alat bantu penerangan. Sedangkan Oca masih mengenggam erat lenganku.
Lagi-lagi terdengar suara, dan lift berhenti sebelum pintu lift terbuka. Apa kita sudah sampai di lantai 1? Kenapa terasa cepat sekali? Kulihat ruangan di depan lift ini terlalu gelap untuk menjadi sebuah parkiran. Aku masih belum yakin untuk melangkah. Namun tidak bagi kedua temanku yang lain, Ana dan Melli. Mereka dengan yakin atau dengan bodohnya melangkah ke lantai yang gelap itu. Aku mengarahkan LCD hpku ke arah display penunjuk lantai.
4?! Se-sejak kapan? Bukankah seharusnya ditulis 3A?
La-lantai 4? Ja-jadi itu benar-benar ada?!
Darahku berdesir, jantungku seperti terhenti. Aku mematung, sementara kurasakan cengkraman Oca di lenganku semakin erat.
“Woi, kalian ngapain disana? Gelap, tahu!” teriak Oca memanggil Ana dan Melli yang hanya terlihat lampu dari HPnya saja.
“Liftnya macet. Kita turun lewat tangga aja dari sini!” seru Ana.
Sosoknya tak terlihat. Termakan kegelapan. Aku menelan ludahku pelan. Terasa sakit.
“Aku ikut mereka, Ca. kamu?”
“Kamu gila ya, Di?! Disana itu gelap banget. Aku mau tetap nunggu liftnya nyala!”
“Oh ya? Sampai kapan? Kita bahkan nggak tahu apakah liftnya akan bergerak lagi atau tidak.”
Suaraku bergetar. Oca terdiam.
“Aku tidak memaksamu, Ca. Sampai ketemu, nanti...” sahutku melepaskan genggaman tangan Oca.
“Tu-tunggu, Di.”
Aku menoleh padanya.
“Aku ikut.”
Kami menyusuri lantai 4 yang gelap ini. Menyusuri jejak-jejak yang ditinggalkan kedua teman kami. Mencari tangga darurat yang bisa membawa kami ke lantai satu. Atau membawa kami langsung pergi dari sini. Saat berjalan itulah, kulihat 2 sinar putih berbentuk kotak menyala mendekati pojok ruangan Agak jauh dari lift.
“Ana? Melli?” panggilku kepada 2 sinar putih itu.
“Sssst…” sebuah desisan menyuruhku diam.
Aku mendekat pada sinar-sinar itu sementara Oca berlindung di balik punggungku.
“Kalian pada ngapain?” tanyaku menepuk bahu Melli.
“Ada orang. Diujung sana!!” seru Ana menunjuk ke pojok ruangan. Aku bisa melihat lampu-lampu jalanan dan lampu-lampu apartemen berkedip-kedip dari luar gedung. Oh, pasti tempat yang ditunjuk itu adalah bagian utara gedung yang masih dalam pembangunan ini.
“Kita tanya yuk, dimana tangga darurat,” usul Ana lagi.
Aneh. Aku tak melihat siapapun disini. Selain kami berempat.
“Dia ngomong apa sih?” tanyaku pada Melli yang menatapnya bingung.
Melli hanya angkat bahu. “Daritadi ia begini. Padahal tidak ada siapapun disana.”
Yap. Tak ada siapapun diujung ruangan. Hanya sebuah dinding yang belum jadi. Berbahaya jika ada yang pergi kesana, karena kau bisa langsung jatuh dan menghantam semen keras di bawah sana.
“Apa kalian tidak melihatnya? Seorang gadis yang memandang sedih, jalanan di bawah sana?” tanya Ana sedikit ngotot.
Aku mengalihkan pandanganku tepat dimana Ana melihat ‘gadis’ itu.
Haha. Kau pasti bercanda.
Sekarang aku melihat apa yang Ana lihat.
Seorang gadis yang mengenakan daster putih memandang sedih jalanan di bawah gedung ini. Wajahnya seperti menyesal, putus asa, dan sepertinya ia memiliki banyak masalah. Dan dihadapan kami berempat, gadis itu melompat. Membuat kami terbelalak dan Ana langsung bergerak ke arahnya.
“Ana, jangan kesana!” teriakku dan Melli bersamaan.
Oca memberanikan dirinya melihat apa yang terjadi.
Terlambat.
Suara berdebum yang keras mengakhiri teriakan Ana saat jatuh.
“ANAAA!” seru Oca histeris. Ia tak percaya apa yang baru ia lihat. Ana, sahabat kami semua, jatuh di depan mata kami. Jatuh dari lantai 4 karena mencoba menolong seorang gadis yang kuyakin eksistensinya di dunia ini sudah tidak ada.
“Kita harus segera pergi dari sini!” seruku menggamit tangan Oca.
Air mataku tak bisa berhenti mengalir. Namun aku harus bisa membimbing 2 sahabatku yang lain untuk segera pergi dari sini.
Tiba-tiba sebuah suara terdengar. Suara itu mengejutkan kami bertiga dan lift itu kembali terbuka. Syukurlah, akhirnya lift sudah jalan lagi.
Dengan cepat, kubimbing mereka berlari menuju ke arah kotak besi bergerak itu.
Sial. Lelucon apa ini, pintu lift itu setengah terbuka. Apa ia mengejek kami? Seperti tak ada pilihan lain, aku dan Oca segera memasuki lift terkutuk itu. Malang bagi Melli. Baru setengah tubuhnya memasuki lift, pintu mulai bergerak menutupnya lebih rapat.
“Melli!” seru Oca berusaha menarik badan Melli masuk ke dalam lift.
“Tahan, Mell,” sahutku sambil terus menekan tombol pembuka pintu lift.
Tak berfungsi.
Sepertinya lift mempermainkan kami. Atau lebih tepatnya mengendalikan kami.
Dengan usaha yang sia-sia, aku terus menekan tombol pembuka pintu, meskipun aku tahu pintu mulai tertutup dan menjepit badan Melli. Aku menahan tangisku mendengar jeritan Oca dan rintihan Melli saat lift mulai meluncur ke lantai bawah.
“Ak..u ng..gak mau ma..ti..” rintih Melli sebelum badannya terbelah dua karena lift terus bergerak.
Pintu menutup seutuhnya. Menyisakan tangis dan jerit dari bibir mungil Oca, yang terus memandang setengah tubuh Melli yang tertinggal di dalam lift.
Aku hanya bisa menenangkan Oca hingga sebuah suara terdengar dan pintu lift terbuka di lantai 2. Namun ruangan gelap itu menyiutkan nyali kami. Aku hanya menendang setengah tubuh Melli ke arah ruangan itu. Menyisakan jejak darah yang diseret menuju keluar lift.
“Maafkan aku, Mel,” desisku sebelum pintu tertutup.
Aku terdiam di dalam lift. Ini salahku. Aku yang berniat mengerjai mereka, kini gara-gara ulahku, mereka kehilangan nyawanya. Maafkan aku teman-teman.
Aku memeluk Oca yang masih menangis. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Lift berhenti di lantai satu. Kosong. Hanya dua buah sepeda motor terpampang disana. Berbeda dengan ruangan-ruangan lainnya, lantai satu yang merupakan tempat parkir ini terang benderang meskipun tak ada orang. Serta merta aku dan Oca menghambur keluar lift. Menjauh ke pintu lift yang terbuka. Sementara jejak darah di lantainya tidak kunjung hilang.
Aku dan Oca memandang satu sama lain. Di baju putih yang kami kenakan, tercipta sebuah lukisan yang dibuat oleh cipratan darah Melli. Di wajah kami yang terlihat kusut juga terdapat noda-noda merah itu.
“Damn. Sudah jam 1 lewat,” gerutu Oca melihat layar HPnya.
HP?
Sial. HPku mana? Dengan cepat aku meraba kantung jeansku.
“Kenapa, Di?” tanya Oca sembari mengeluarkan kunci motornya.
“HP aku mana ya?” Aku mulai panik karena nggak bisa menemukan benda kecil kesayanganku itu.
“Coba diingat-ingat dulu.”
“Missed Call dong..”
Oca memencet nomor HPku pada Hpnya. Dan nada Boulevard Of Broken Dreams yang kupasang sebagai nada dering terdengar di tempat yang tak semestinya. Tempat yang tak ingin aku datangi.
Di dalam lift.
Pintu lift yang terbuka seolah menggodaku untuk masuk ke dalamnya dan mengambil HP yang teronggok di tengah-tengah kotak besi itu.
Sudahlah, Diandra. Jangan bahayakan hidupmu untuk benda kecil yang masih bisa kau beli itu. Masih banyak HP seperti itu. Jangan bodoh dan membuang satu-satunya nyawamu demi benda kecil itu. Tegarkan dirimu, Diandra. Batinku dengan kuat mendukungku untuk mengacuhkan HP itu.
Tapi...
Sayang, seribu kali sayang...
Kakiku tak mendengarkan apa yang diucapkan oleh batinku. Secepat kilat aku masuk ke dalam lift itu untuk mengambil kembali HP kesayanganku.
“DIANDRA!” teriak Oca mengejarku. Dan ia mengerem langkahnya sesaat sebelum pintu bergerak menutup.
Aku masih bisa memandang wajahnya yang kembali menangis di sela-sela pintu lift yang masih terbuka.
“Lari, Ca…” sahutku tersenyum lirih.
Dan kini pintu itu benar-benar tertutup. Suaranya sudah tak kudengar. Aku hanya mendengar angin.
Semuanya salahku. Aku pantas mendapatkannya.
Aku menyebabkan Anna dan Melli mati. Jika saja aku tidak membuat lelucon lantai 4 itu.
Aku menggedor pelan pintu lift dari dalam, meskipun aku tahu yang aku lakukan tak akan ada gunanya.
Aku hanya menghabiskan waktu. Sembari menunggu lift ini bergerak menuju lantai yang tertera pada display.
... Lantai 4...
* * *